Menyingkirkan' Anak Di Masjid



TERSENTAK hati saya ketika melihat shaf anak-anak yang sudah mendekati baligh (murahiq) dibariskan terpisah dari jamaah orang dewasa. Tepatnya anak-anak dibariskan mendekati teras utara masjid.
Pemandangan itu saya temukan di masjid kebanggaan masyarakat Aceh Barat, Masjid Agung Baitul Makmur, Kota Meulaboh.

Pemandangan tidak ”sedap" itu membuat saya terlambat ikut takbir dan terbawa dalam shalat. Mungkin karena sangking miris melihat nasib anak-anak yang menurut saya sungguh tidak menghargai anak-anak yang mencintai masjid.

Jumlah mereka hanya puluhan jika mereka tidak dirangkul diayomi dengan arif dan bijak kelak ketika mereka besar yang ada dibenaknya, mesjid benar rumah Allah tapi meminggirkan alias tidak ramah terhadap anak-anak dengan bukti ada jarak sampai lima shaf kosong baru mereka diizinkan berdiri.
Setidaknya itulah gambaran yang tergambar dalam benak saya dan bisa juga di pikiran anak berserta orang tua mereka namun mereka lebih memilih diam.

Untuk mendapatkan jawaban, di media terbuka ini saya bertanya kepada pengurus masjid dari hasil temuan di atas, adapun hal-hal yang perlu pencerahan dari pengurus masjid sebagai berikut;

Atas dasar apa anak dipisahkan dari shaf orang dewasa? Apakah karena mereka anak-anak yang membuat bising/gaduh sehingga menggangu kekhusyukan para jamaah orang dewasa, Adakah syariat yang nabi Muhammad SAW bawa memperlakukan anak-anak demikian? Apakah keberadaan meraka memutuskan shaf orang dewasa? Atau mutlak kebijakan pengurus masjid?


Sebenarnya dengan berat hati saya selaku warga Aceh Barat menuliskan ini di Rubrik ”Kupi Beungoh” masukan ini terbuka dan agar dibaca oleh semua orang. Hal yang memberatkan hati saya teringat nasehat Imam Syafi’i senada juga dengan nasehat Al Fudhail bin iyadh;

“Jangan nasehati orang di depan khalayak ramai bukan didengar malah dianggap menjelek-jelekkan.” Saya tidak bermaksud menjelakkan tapi hanya sebatas memberi saran dan masukan.

Hal ini perlu saya pertegas karena sudah beberapa kali bahkan dengan rentang waktu antar tahun saya beri masukan kepada orang yang sama selaku pihak bertanggung jawab di Masjid Agung namun tetap tidak berubah.

Masukan yang pernah saya sarankan antara lain; mengingat zaman sekarang zaman tehnologi informasi, pernah saya tawarkan dan bersedia membantu untuk Masjid Agung membuat website untuk memberi infomasi sekitar jadwal imam, khatib, isi ceramah dan jadwal pengajian, isi pengajian serta kegiatan-kegiatan masjid lainnya.

Setelah saya wawancara salah seorang pengurus paling sentral di masjid untuk saya muat di Majalah Suara Darussalam binaan Baitul Mal Aceh juga tidak dikirim data pendukung untuk kami tulis di profil masjid-masjid terindah di Aceh.

Baru-baru ini saya tawarkan kepada pengurus mesjid tausiah salah seorang ulama dari Mesir untuk diberi waktu tausiah atau pengajian, juga tidak ditanggapi padahal ketika itu pihak masjid tidak perlu mengeluarkan biaya sedikitpun karena sudah kami biayai. Mirisnya, jika ada ulama atau dai rangkap artis "import" lainnya dizinkan.

Nah, ini yang terakir saya pilih memberi masukan di media terbuka. Semoga ada tanggapan minimal ada balasan kenapa tidak diterima masukan saya.


Dengan tanpa rasa menggurui sedikitpun, berikut saya paparkan sedikit bacaan saya seputar kedekatan anak dengan masjid, barangkali bisa jadi bahan pertimbangan oleh pengurus Masjid Agung dan juga mesjid lainnya ke depan;
Pesan Sultan Muhammad Al Fatih, penakluk konstantinopel; “Jika suatu masa kelak kamu tidak lagi mendengar bunyi bising dan gelak ketawa anak anak riang diantara shaf shaf sholat di masjid masjid, maka sesungguhnya takutlah kalian akan kejatuhan generasi muda kalian masa itu."

Lihat Turki pascaruntuhnya Dinasti Utsmani, Mustafa Kemal At-Turk melarang azan dengan bahasa Arab serta menjadikan Mssjid Hagia Sophia yang direbut berabad-abad jadi Museum.
Lihat Andalusia (sekarang Spanyol) karena tidak ada regenerasi setelah dikuasai ummat Islam berabad-abad dengan mudah dinistakan, dibantai oleh kaum tirani. Sejarah akan terulang kata pepatah. Siapkah kita menghadapi kekosongan generasi yang cinta masjid?

Lalu bagaimanakah rasulullah SAW memperlakukan anak-anak di masjid? Terkadang Hasan mendatangi Rasulullah Saw. Saat beliau sedang sujud lalu naik ke atas punggung beliau.
Beliau membiarkannya dan memanjangkan sujud karenanya. Dan kadang kala ia membawanya naik ke atas mimbar. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah Saw, berkhutbah, beliau melihat al-Hasan dan al-Husain datang menghampiri beliau. Beliau turun dari mimbar dan menggendong mereka berdua lalu membawa keduanya ke atas mimbar, kemudian beliau berkata, "Maha benar Allah SWT. Selanjutnya beliau membaca firman Allah Swt.

"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)” (QS.At-Taghabun: 15).


"Sesungguhnya aku melihat kedua anak ini berjalan dan jatuh, aku tidak sabar sampai turun mengambil keduanya.
"Kemudian beliau berkata,"Sesungguhnya kalian (anak-anak tersebut) termasuk kesayangan Allah SWT.
”Dirasah ta'zizil huquqil Al-Athfal (Kajian pemeliharaan hak-hak anak), hal. 40. Alangkah dalam makna ucapan Anas bin Malik ketika menggambarkan kasih sayang Rasulullah kepada anak-anak. Beliau mengatakan, "Tidak pernah saya melihat seorang yang lebih cinta kepada keluarganya lebih dari Rasulullah." HR Muslim (No: 2316).

Suatu ketika Nabi Muhammd Saw mencium Hasan bin Ali di sebelah Aqra' bin Habis. Melihat hal tersebut Aqra’ berkata, "Sungguh saya memiliki sepuluh orang anak, tidak ada seorang pun yang pernah saya ciumi di antara mereka.” Rasulullah memandangnya kemudian bersabda:
"Siapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.” HR Bukhari: V/2235, Muslim: IV/1809
Aqra’ mengira bahwa tanda ketegasan dan kejantanan adalah bila hati telah mengeras dan membatu, hingga ia tidak menyayangi anak kecil dan menciumi anaknya. Namun, Rasulullah membantahnya dengan bantahan telak yang membuatnya tidak berkutik.

Sebuah jawaban yang bukan hanya dikhususkan untuk dirinya, akan tetapi menjadi kaidah prinsip dalam Islam, yaitu sebuah kalimat yang singkat, "Siapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”
Maukah kita jadi seperti Aqra’ yang ditegur oleh baginda rasul gara-gara keras hati terhadap anak? Jawabnya tentu tidak. Cukup Aqra’ saja.


Kemudian, Rasulullah sendiri tidak tahan mendengar tangisan dan rengekan anak kecil. Abu Qatadah meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah. Ketika hendak sujud, beliau meletakkan Umamah, ketika berdiri beliau mengambilnya kembali. HR Bukhari (494).

Rasulullah sedang melaksanakan shalat, tapi beliau tetap tidak tahan dengan tangisan Umamah, cucunya. Beliau menggendongnya walaupun ketika itu sedang shalat. Kasih sayang ini telah membuatnya memanjangkan atau meringkaskan shalatnya hingga anak kecil bisa tetap bergembira.
Kita dapat melihat kisah beliau yang menakjubkan ketika shalat berjama'ah. Dalam satu kesempatan, beliau sengaja memanjangkan sujud agar tidak mengganggu anak-anak.

Diriwayatkan dari Syaddad bin Al-Had, suatu ketika Rasulullah keluar melaksanakan shalat Isya sambil menggendong Hasan atau Husain. Rasulullah maju dan meletakkan keduanya, kemudian bertakbir untuk shalat. Rasulullah SAW memanjangkan sujudnya di salah satu sujudnya.

Ayahku berkata, ‘Aku angkat kepalaku dan ternyata sang anak kecil sedang berada di punggung Rasulullah ketika beliau sujud. Aku pun kembali sujud. Seusai shalat, orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, Anda sujud lama sekali sehingga kami mengira terjadi sesuatu atau sedang turun wahyu kepadamu.

Beliau menjawab: Semua itu tidak terjadi. Hanya saja putraku menaiki punggungku. Aku tidak ingin mengganggunya sampai ia puas melakukannya’." HR Nasa'i II/579 (1141) & Ahmad III/493 (27688).
Hal yang sebaliknya pernah pula dilakukan oleh Rasulullah SAW yang membuktikan besarnya rasa kasih sayang beliau. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:


“Sungguh ketika aku telah mulai melaksanakan shalat, sedangkan aku ingin memanjangkannya. Namun aku kemudian mendengar tangisan anak kecil, maka sayapun mempercepat shalat karena saya tahu perasaan sedih ibunya disebabkan tangisan itu." HR Bukhari: I/250.

Demikianlah Rasulullah mengondisikan shalatnya sebagai bentuk kasih sayang kepada anak kecil dan ibunya.
Kembali ke shaf shalat berjmaah di Masjid yang sesuai sunnah untuk anak-anak sebagaimana tertera dalam berbagai kitab Fiqh.
Apabila ia telah mencapai usia tujuh tahun atau lebih, untuk berdiri di belakang imam sebagaimana orang-orang yang telah baligh.

Apabila yang ada hanya satu, maka ia berdiri di samping kanan imam, karena sudah jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shalat di rumah Abu Thalhah, dan menjadikan Anas dan seorang anak yatim di belakangnya, sedangkan Ummu Sulaim di belakang keduanya. Juga telah ada dalam riwayat lainnya, bahwa beliau mengimami shalat Anas, dan menjadikannya di sebelah kanannya.

Dari beberapa keterangan tersebut menjelaskan bahwa tidaklah mengapa menjadikan anak-anak berdiri bersama pada shaf orang dewasa, dan ini bukanlah sesuatu yang haram sebagaimana sangkaan sebagian orang, sehingga mereka mencari masjid lain hanya karena pada masjid tersebut dibolehkan anak-anak berada dalam shaf orang dewasa.

Adapun dalil kebolehan anak-anak berada pada shaf orang dewasa adalah hadits berikut;
“Dari Anas bin Malik ra., berkata, “Aku shalat bersama anak yatim di rumah kami, kami dibelakang Nabi saw., dan Ibuku Ummu Sulaim dibelakang kami”. (HR. Bukhari 1/255).


Dalam hadits ini menerangkan bahwa saatAnas bin Malik shalat bersama Rasulullah saw., dan seorang anak yatim, maka Anas berdiri bersama anak yatim dalam satu shaf dibelakang Rasullullah, dan ini menunjukkan dibolehkannya orang dewasa berdiri bersama anak-anak dalam satu shaf.

Jika tidak dibenarkan anak-anak berdiri di shaf orang dewasa tentunya Anas akan berdiri disamping kanan Rasulullah saw., sebagaimana hadits shalatnya Ibnu Abbas bersama Rasulullah dan Aisyah. Namun Anas berdiri bersama anak yatim membuat satu shaf dibelakang Rasulullah saw. Inilah dalil akan kebolehan anak-anak berada pada shaf orang dewasa.

Nah, ternyata Imam al-Bukhari membuat satu bab khusus dalam shahihnya Bab Shaf Anak-anak bersama orang dewasa dalam shalat jenazah. Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan komentar atas judul bab tersebut dengan berkata;
“Adalah Ibnu Abbas ra., di zaman Nabi saw., yang saat itu dia (Ibnu Abbas) belum baligh, ikut menyaksikan haji wada’ dan ia duduk bersama (dibarisan) orang-orang dewasa.” (Fathul Bari 3/242).

Inilah beberapa dalil yang menegaskan tentang kebolehannya anak-anak berdiri bersama orang dewasa dalam satu shaf shalat. Dan tidaklah dianggap putus shaf tersebut karena adanya anak-anak yang berdiri dalam shaf bersama mereka.

Bahkan jika dicermati, dengan menempatkan anak-anak disamping orangtuanya maka akan jauh kemungkinan ia berbuat nakal, bermain-main dan menimbulkan kegaduhan lainnya karena ia merasa dalam pengawasan orang tuanya.

Namun demikian, hendaknya para orang tua memberikan pelajaran bagaimana seharusnya shalat berjamaah dan hal-hal yang menjadi sebab kesempurnaannya, sehingga mereka mengerti tatacara shalat berjamaah yang baik yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.


Sekali-lagi, mohon maaf setinggi-setingginya jika dengan tulisan ringkas ini telah tergores hati saudara-saudara pengurus Masjid Agung Meulaboh.

Akhirnya hanyalah kepada kita berharap agar manjadikan hati yang “qalbun saliim” yang dapat dengan mudah menerima masukan yang bersifat membangun agama Allah di bulan yang penuh berkah ini. Wallahul Muwafiq ila aqwamith thariq. [MUSTAFA HUSEN WOYLA, Email : Mustafa.husen@yahoo.com]

Sumber http://aceh.tribunnews.com



Share:

0 comment:

Post a Comment